Wednesday, October 17, 2012

La Maddukkelleng


La Maddukkelleng
La Maddukkelleng (lahir di Wajo, Sulawesi Selatan, 1700 – wafat Wajo, Sulawesi Selatan, 1765) adalah seorang ksatria dari Wajo, Sulawesi Selatan. Pada masa kecilnya hidup di lingkungan Istana (Arung Matowa Wajo) Wajo. Menginjak masa remaja ia diajak oleh Pamannya mengikuti Acara Adu (Sambung) Ayam di Kerajaan tetangganya Bone. Namun pada waktu itu terjadi ketidak adilan penyelenggaraan acara tersebut dimana orang Wajo merasa dipihak yang teraniaya, La Maddukkelleng tidak terima hal tersebut dan terjadilah perkelahian. Ia lalu kembali ke Wajo dalam pengejaran orang Bone, lalu lewat Dewan Ade Pitue, ia memohon izin untuk merantau mencari ilmu. Dengan berbekal Tiga Ujung (Ujung mulut, Ujung Tombak, dan Ujung Kemaluan), ia berhasil di Negeri Pasir (Kalimantan) sampai ke Malaysia, dan merajai Selat Makassar, hingga Belanda menjulukinya dengan Bajak Laut. Dia berhasil menikah dengan Putri Raja Pasir, dan salah seorang Putrinya kawin dengan Raja Kutai. Dia bersama pengikutnya terus menerus melawan Belanda. Setelah 10 tahun La Maddukkelleng memerintah Pasir sebagai Sultan Pasir, datanglah utusan dari Arung Matowa Wajo La Salewangeng yang bernama La Dalle Arung Taa menghadap Sultan Pasir dengan membawa surat yang isinya mengajak kembali, karena Wajo dalam ancaman Bone. La Maddukkelleng akhirnya kembali lagi ke Tanah Wajo dan melalui suatu mufakat Arung Ennengnge (Dewan Adat), beliau diangkat sebagai Aurng Matowa Wajo XXXIV. Dalam pemerintahannya, tercatat berhasil menciptakan strategi Pemerintahan yang cemerlang yang terus menerus melawan dominasi Belanda dan membebaskan Wajo dari penjajahan diktean Kerajaan Bone, juga keberhasilan memperluas wilayah kekuasaan Kerajaan Wajo.
a.    Petta Pamaradekangi Wajona To Wajoe
La Maddukkelleng adalah Putra dari Arung (Raja) Peneki La Mataesdso To Ma’dettia dan We Tenriangka Arung (Raja) Sengkang, saudara Arung Matowa Wajo La Salewangeng To Tenrirue (1713-1737). Karena itulah La Maddukkelleng saring disebut Arung Sengkang dan Arung Peneki.
Pada tahun 1713, Raja Bone La Patau Matanna Tikka mengundang Arung Matowa Wajo La Salewangeng untuk menghadiri perayaan pelubangan telinga (pemasangan giwang) Putrinya I Wale di Cenrana (daerah Kerajaan Bone). La Maddukkelleng ditugaskan Pamannya (dia Putra saudara Perempuan La Salewangeng) ikut serta dengan tugas memegang tempat Sirih Raja. Sebagaimana lazimnya dilakukan di setiap Pesta Raja-Raja Bugis-Makassar, diadakanlah ajang perlombaan Perburuan Rusa (Maddenggeng) dan Sambung Ayam (Mappabitte).
Pada saat berlangsungnya pesta Sambung Ayam tersebut, Ayam Putra Raja Bone mati dikalahkan oleh Ayam Arung Matowa Wajo. Kemenangan itu tidak diakui oleh orang-orang Bone dan mereka berpendapat bahwa pertarungan tersebut sama kuatnya. Hal tersebutlah yang menyebabkan terjadinya keributan. Pada saat itu La Maddukkelleng turut serta dalam perkelahian tersebut mengakibatkan korban di pihak Bone lebih banyak dibandingkan korban pihak Wajo. Lontarak Sukunna Wajo menyatakan bahwa pada waktu terjadi perkelahian tersebut, terjadi tikam menikan antara orang-orang Wajo-Bone di Cenrana, saat itu La Maddukkelleng baru saja disunat dan belum sembuh lukanya. Melihat kenyataan tersebut (karena mereka di wilayah Kerajaan Bone), maka orang-orang Wajo segera melarikan diri melalui Sungai Walennae.
Setibanya Arung Matowa Wajo La Salewangeng di Tosora, maka datanglah utusan Raja Bone untuk meminta agar La Maddukkelleng diserahkan untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya (dianggap bersalah). Arung Matowa Wajo mengatakan bahwa La Maddukkelleng tidak kembali ke Wajo sejak peristiwa di Cenrana. Utusan Raja Bone itu kembali sekalipun ia yakin bahwa La Maddukkelleng masih berada di daerah Wajo, namun tidak dapat berbuat banyak karena adanya Ikrar antara Bone, Soppeng, dan Wajo di Timurung pada tahun 1582, bahwa 3 Kerajaan itu harus saling mempercayai.
La Maddukkelleng dating menghadap dan meminta restu Arung Matowa Wajo dan Dewan Pemerintah Wajo (Arung Bentempola) untuk berlayar meninggalkan daerah Wajo. Saat itu bertepatan dengan selesainya pembangunan Gedung tempat penyimpanan harta kekayaan di sebelah Timur Masjid Tosora serta Gedung Padi di Tiga Limpo. Anggota Dewan Pemerintah Kerajaan Wajo (La Tenri Wija Daeng Situju) berpesan agar senantiasa mengingat Negeri Wajo selama perantauan. Lalu La Maddukkelleng ditanya tenatang bekal yang akan dibawa, ia menjawab bahwa ada 3 bekal yang akan dibawa serta yaitu : Pertama lemahnya lidahku, Kedua tajamnya ujung kerisku dan yang Ketiga ujung kelaki-lakianku.
Dengan disertai pengikut-pengikutnya La Maddukkelleng berangkat dari Peneki dengan menggunakan perahu layar  menuju Johor (Malaysia sekarang). Lontarak Sukunna Wajo memberitakan bahwa La Maddukkelleng dalam perjalanan bertemu dengan saudaranya bernama Daeng Matekko, seorang saudagar Kaya Johor. Hal ini membuktikan bahwa lama sebelumnya orang-orang Wajo sudah merambah jauh Negeri orang. La Maddukkelleng diperkirakan merantau pada akhir Pemerintahan Raja Bone La Patauk Matanna Tikka Nyilinna Walinonoe, yang merangkap sebagai Datu Soppeng dan Ranreng Tuwa Wajo, sekitar tahun 1714.
b.    La Maddukkelleng di Perantauan dan Asal Usul Kota Samarinda
La Maddukkelleng bersama We Tenriangka Arung Sengkang, dan pengikut-pengikutnya, mula-mula berlayar dan menetap di Tanah Malaka (Malaysia Barat), kemudian pindah dan menetap di Kerajaan Pasir, Kalimantan Timur.
Dalam perjalanan rombongan tersebut, masih memegang adat tata dan norma Kerajaan Wajo, La Maddukkelleng sebagai pimpinan. La Maddukkelleng mengangkat To Assa sebagai panglimanya. Mereka membangun Armada Laut yang terus mengacaukan Pelayaran di Selat Makassar. Dalam perantauan ini juga La Maddukkelleng kawin dengan Putri Raja Pasir. Sementara itu salah seorang Putrinya kawin dengan Raja Kutai (Sultan Muhammad Idris).
Pada saat itu, Pemerintah Kutai dipimpin oleh Adji Pangeran Dipati Anom Panji Mendapa Ing Martadipura, yang kerap pula disebut Adji Yang Begawan, memerintah pada tahun 1730-1732. Setelah wafat, Adji Yang Begawan terkenal dengan sebutan Marhum Pemarangan. La Maddukkelleng, mempunyai 3 orang Putra, yang kemudian beranak Cucu dan berkeluarga dengan Raja-Raja di Kalimantan Timur. Ketiga anaknya ialah, Petta To Sibengngareng, yang turunannya kawin-mawin dengan Raja-Raja Pasir dan Kutai, Petta To Rawe, yang turunannya kawin-mawin dengan Raja-Raja Berau dan Kutai, serta Petto To Siangka yang turunannya kawin-mawin dengan Raja-Raja Bulungan dan Sulawesi Tengah.
Dalam rombongan La Maddukkelleng tersebut, ikut pula 8 orang Bangsawan menengah, yaitu La Maohang Daeng Mangkona, La Pallawa Deang Marowa, Puanna Dekke, La Siaraje, Daeng Manambung, La Manja Daeng Lebbi, La Sawedi Daeng Sagala, dan La Manrappi Daeng Punggawa. Karena Tanah Wajo telah diduduki oleh Kerajaan Bone, banyak pula warga Wajo yang meninggalkan Kapung kelahirannya berlayar menuju Pasir dan menetap di Sungai Muara Kendilo. Tempat pemukiman baru tersebut lambat laun menjadi sesak akibat semakin bertambahnya migrasi dari Tanah Wajo. Melihat hali itu, La Maddukkelleng mengadakan perundingan dengan pengikutnya. Hasilnya antara lain, diputuskan agar sebagian pengungsi Wajo itu mencari tempat pemukiman baru. Mereka pun memilih Kutai sebagai tanah pemukiman baru. Ketika rombongan itu sampai ke Tanah Kutai, La Mohang Daeng Mangkona menghadap Raja Kutai Adji Pangeran Dipati Anom Ing Martadipura atau Marham Pemarangan. Ia memohon agar di izinkan menetap di Tanah Kutai. Tetapi, Sang raja berpikir, mungkin saja orang-orang itu malah akan membuat kesulitan seperti yang pernah dilakukan seorang temannya yang meminta hal serupa berpuluh puluh tahun lampau. Pikir punya piker, Raja Kutai akhirnya setuju dengan satu syarat, agar patuh pada perintah Raja.
La Pohang setuju dan berjanji apabila diberikan sebidang tanah ia akan mencari kehidupan di Tanah Kutai, membangun daerah itu dan patuh pada perintah Raja. Disaksikan sejumlah Pembesar Kerajaan, Sang Raja bertitah “carilah sebidang tanah di wilayah Kerajaanku ini di sebuah daerah berdaratan rendah dan di antara daratan rendah itu, terdapat sungai yang arusnya tidak langsung mengarah dari hulu ke hulir, tetapi mengalir dan berputar di antara daratan itu”. Orang-orang Bugis itupun berlayar sepanjang Sungai Mahakam dan mencari tanah yang telah ditentukan Raja. Setelah beberapa lama berlayar mengitari Tanah Kutai, akhirnya mereka menemukan tanah dataran rendah yang sesuai dengan titah Raja. Di tempah inilah kemudian mereka membangun Rumah Sakit, berada di atas air, dan ketinggian antar rumah yang satu dengan yang lainnya sama. Dengan Rumah Sakit yang berada di atas air, harus sama tinggi antara rumah satu dengan yang lainnya, melambangkan tidak ada perbedaan derakat apakah bangsawan atau tidak, semua “sama” derajatnya dengan lokasi yang berada disekitar muara sungai yang berulak, dan di kiri kanan sangai daratan atau “rendah”. Diperkirakan dari istilah inilah lokasi pemukiman baru tersebut dinamakan SAMARENDA atau lama-kelamaan ejaannya menjadi “SAMARINDA”. Tempat itu lalu menjadi pemukiman orang-orang Bugis Wajo. Letaknya tak jauh dari Kampung Mangkupalas, Kampung tua di Kecamatan Samarinda seberang bagian tepi Sungai Mahakam, tempat pusaran air itu sekarang menjadi Kompleks Industri Kayu Lapis. Menurut cerita setempat, La Mohang Daeng Mangkona pengikut La Maddukkelleng itulah yang dianggap berjasa, mengembangkan Kampung Mangkupalas. Sebuah Kampung Tua yang kemudian berkembang menjadi Samarinda Seberang.
Setelah 10 tahun La Maddukkelleng memerintah Pasir sebagai Sultan Pasir, datanglah utusan dari Arung Matowa Wajo La Salewangeng yang bernama La Dalle Arung Taa menghadap Sultan Pasir dengan membawa surat yang isinya mengajak kembali, karena Wajo dalam ancaman Bone, tapi Wajo sudah siap dengan pasuka dan peralatan. Saat itu La Maddukkelleng menjadi Sultan Pasir, bertekad kembali ke Wajo memenuhi panggilan Tanah Leluhurnya, meskipun menghadapi banyak pertempuran.
c.    Perjuangan dari Pasir kembali ke Wajo
Setelah itu La Maddukkelleng mengumpulkan kekuatan persenjataan dan armada yang berkekuatan perahu jenis bintak, perahu ini sengaja dipilih karena bisa cepat dan laju digerakkan. Perahu yang digunakan tersebut dilengkapi dengan meriam-meriam baru yang dibelinya dari orang-orang Inggris. Anggota pasukan La Maddukkelleng dibagi atas 2 kelompok, yaitu Pasukan Laut (Marinir) yang dipimpin oleh La Banna To Assa (Kapitang Laut) dan Pasukan Darat dipimpin oleh Panglima Puanna Pabbola dan Panglima Cambang Balolo. Pasukan istimewa tersebut seluruhnya merupakan orang-orang terlatih dan sangat berpengalaman dalam pertempuran laut dan darat di Semenanjung Malaya dan perairan antara Johor dengan Sulawesi. Pasukan ini terdiri atas Suku Bugis, Pasir, Kutai, Makassar, serta Bugis-Pagatan.
Armada La Maddukkelleng berangkat menuju Makassar melalui Mandar dan kemudian terlebih dahulu mampir di Pulau Sabutung. Dalam Desertasi Noorduyn diserang oleh Armada Belanda yaitu pada tanggal 8 Maret 1734 dan 12 Maret 1734. Dalam catatan Raja Tallo diberitakan bahwa Armada Belanda yang terdiri dari 6 buah perahu dapat di pukul mundur, perang ini berlangsung selama 2 hari.
Lontarak Sukunna Wajo menyatakan bahwa ketika Armada La Maddukkelleng sedang berlayar antara Pulau Lea-Lea dan Rotterdam, Pasukan Belanda yang berada di Benteng tersebut menembakinya dengan meriam-meriam. Armada La Maddukkelleng membalas tembakan mreiam itu dengan gencar. Gubernur Makassar, Johan Santijn (1733-1737) mengirim satu Pasukan orang-orang Belanda yang ditemani oleh Ancak Baeda Kapitang Melayu menuju Pulau Lea-Lea. Hampir seluruh pasukan tersebut ditewaskan oleh La Maddukkelleng bersama pasukannya. Melalui Pelabuhan Gowa dia diterima oleh kawan sepejuangnya I Mappasempek Daeng mamaro, Karaeng Bontolangkasa yang sebelumnya sudah dikirimi surat. Lalu kemudian Tumabbicara Butta (Mangkubumi) Kerajaan Gowa, I Megana juga dating menemui La Maddukkelleng. Kemudian diadakanlah pertemuan yang membicarakan rencana strategis dan taktik menghadapi Tentara Belanda.
Setelah Armada VOC tidak dapat mengalahkan Armada La Maddukkelleng, mereka melanjutkan pelayaran menuju Bone dan tiba di Ujung Palette. Ratu Bone We Bataru Roja, yang merangkap jabatan Datu Soppeng, sejak tahun 1667 menjadi Sekutu Belanda, mengirim pasukan untuk menghadang Armada La Maddukkelleng, dan menyampaikan bahwa Topasalanna Bone (orang bersalah terhadap Bone) dilarang masuk melalui Sungai Cenrana. Suruhan La Maddukkelleng menyampaikan balasan bahwa La Maddukkelleng, Sultan Pasir, menghormati Raja Perempuan dan tidak akan melalui Sungai Cenrana, tetapi melalui Doping (wilayah Wajo) ke Sengkang. Dalam Musyawarah dengan Arum Pone (merangkap Datu Soppeng), Arung Matowa Wajo mendapat tekanan dari Raja Bone untuk menyerang dan tidak member kesempatan masuk. Arung Matowa Wajo menjawab bahwa berdasarkan perjanjian Pemerintahan di Lapaddeppa antara Arung Saotanre La Tiringeng To Taba dengan Rakyat Wajo (1476) yang berbunyi Wajo adalah Negeri mereka dimana Hak-Hak Asasi Rakyat dijamin.
Dengan melalui proses negosiasi dan dengan persiapan yang mantap, La Maddukkelleng dengan pasukannya masuk melalui Doping. Tanggal 24 Mei 1736 ditambah dengan Pasukan 100 orang Wajo, sehingga diperkirakan ± 700 orang ketika tiba di Sengkang. Karena La Maddukkelleng masih menghormati hokum Adat Tellumpoccoe (persekutuan antara Wajo, Soppeng, dan Bone), dia berangkat ke Tosora untuk menghadiri persidangan dengan kawalan 1.000 orang. Tuduhanpun  dibacakan yang isinya mengungkap tuduhan perbuatan La Maddukkelleng mulai dari sebab meninggalkan Negeri Bugis sampai pertempuran yang dialaminya dengan Belanda. La Maddukkelleng lalu membela diri dengan alasan-alasan rasional dan menyadarkan ak nposisi orang Bugis di hadapan Belanda. Karena demikian maka tidak mendapat tanggapan dari Majelis Pengadilan Tellumpoccoe.
La Maddukkelleng kemudian ke Peneki memangku jabatan Arung yang diwariskan Ayahnya, namun dalam perjalanan tidak dapat dihindari terjadinya peperangan dengan kekalahan di pihak Pasukan Bone. La Maddukkelleng dijuluki “Petta Pamaradekangi Wajona To Wajoe” yang artinya Tuan/Orang yang Memerdekakan Tanah Wajo dan Rakyatnya. Karena La Salewangeng (pemangku Arung Matowa Wajo) usianya sudah cukup lankut untuk menyelesaikan segala persoalan, maka melalui suatu mufakat Arung Ennengnge (Dewan Adat), beliau diangkat sebagai Arung Matowa Wajo XXXIV. Pengangkatannya di Paria pada hari Selasa tanggal 8 November 1736. Dalam pemerintahnnya, tercatat berhasil menciptakan strategi Pemerintahan yang cemerlang yang terus menerus melawan Dominasi Belanda dan membebaskan Wajo dari penjajahan Diktean Kerajaan Bone, juga keberhasilan memperluas wilayah kekuasaan Kerajaan Wajo.

No comments:

Post a Comment